Makalah Azas-azas Hukum dalam Suatu Perjanjian/kontrak
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem
hukum di Indonesia
banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan
yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan
masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau
disebut juga sistem hukum Romawi Jerman.
Adapun
sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno
yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara-negara seperti
Prancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi
Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code
Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum
ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil
law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena
itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum
civil law.
Selain
sistem civil law, juga dikenal dengan adanya sistem common law. Rene Devid dan
John E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni
sistem hukum: civil law, common law, dan socialist law. Namun, dalam
perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh
sistem civil law dimana negara-negara sosialis banyak menganut sistem civil
law. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem
hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law.
Sistem
common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau
hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah
diambilnya (judge made law).
Umumnya
di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan
untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang
bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada
harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan
hakim sebelumnya. The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin
stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions
(berpegang/berpatokan pada putusan-putusan sebelumnya).
Sistem
hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan
persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia.
Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada
yang menganut sistem hukum civil law.
Sekilas
mengenai perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law
(Anglosaxon) dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem
civil law diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada
universitas-universitas, yang menentukan atau membuat peraturan hukum secara
sistematis dan utuh. Sedangkan perkembangan sistem common law terletak pada
putusan-putusan hakim, yang bukan hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan
hukum.
Hukum
di negara dengan sistem civil law pada umumnya ditujukan untuk menetapkan suatu
kaidah atau norma yang berada di suatu lingkungan masyarakat untuk diikuti dan
dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum merupakan bagian
integral dari kehidupan bersama yang mengatur dan menguasai sesama manusia.
Jadi dapat dikatakan hukum terdapat dalam masyarakat manusia sehingga dalam
setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.
Hal
ini sesuai adagium: ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat
(disitu) ada hukum. Berbeda dengan sistem hukum common law yang tidak mengenal
pembagian secara prinsipil atas hukum publik dan hukum perdata, maka pada
sistem hukum civil law pembagian hukum publik dan hukum perdata (privat)
merupakan hal yang sangat esensial. Hukum Publik lazimnya dirumuskan sebagai
hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan
warga negaranya. Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa.
Sedangkan
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam
pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.[6]
Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat
materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia
atau masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia
Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia
dituliskan dalam pasal 131 Indische staatsregeling, yang dalam pokoknya sebagai
berikut:
Hukum
Perdata dan Dagang (begitu pula dengan Hukum Pidana besertas hukum Acara
perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab atau undang-undang,
yaitu yaitu dikodifisir.
Untuk
golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di
Negeri Belanda (asas konkordansi).
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing
(Tiong Hoa, Arab, India dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan
kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk
bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru
bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan
mereka, dan boleh diadakan penyimpanagn jika diminta oleh kepentingan umum atau
kebutuhan masyarakat mereka.
Orang
Indonesia
asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suartu
peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri: pada
hukum yang berlaku untuk bangsa eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik
secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja.
Sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis didalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat:”
Dengan
adanya ketentuan tersebut diatas, maka pengaturan untuk tunduk terhadap hukum
perdata dapat diklasifikasikan sehingga jelas aturan hukum yang mengatur
hubungan antar sesama masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan
sosial bagsa Indonseia saat itu, dapat pula kemungkinan terjadinya penundukan
diri pada Hukum Eropa yang telah diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, antara lain:
Penundukan
pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
Penundukan pada sebagian hukum Perdata Eropa, yakni
hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang
dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa;
Penundukan
secara “diam-diam”, yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia
asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya
sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.
Pemerintah
Hindia Belanda melakukan kodifikasi atas hukum perdata dengan memuat sekumpulan
peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk
Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah
Hindia Belanda ini hingga kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materil.
Adapun sistematika yang dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat buku ini
adalah sebagai berikut:
Buku I yang bertitel “Perihal Orang”, memuat hukum
tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga.
Buku II yang bertitel “Perihal Benda”, memuat hukum
perbendaan serta Hukum Waris.
Buku III yang bertitel “Perihal Perikatan”, memuat
hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang
atau pihak-pihak tertentu.
Buku IV yang bertitel “perihal pembuktian dan Lewat
Waktu (Daluarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat lewat terhadap
hubungan-hubungan hukum.Sedangkan Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang
ini, lazimnya dibagi dalam empat bagian, yaitu:
Hukum tentang Diri Seseorang; memuat
peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Kekeluargaan; mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
Hukum Kekayaan; mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hukum Warisan; mengatur hal ikhwal tentang benda atau
kekayaan seseorang jikalau ia meninggal.
Dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH
dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10]
bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana
hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak
dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum
tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan
antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal
yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai
dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal
sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya
suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer, antara
lain sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dengan
dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Istilah
hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomsrecht. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara
dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Dengan
demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya.
Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana
pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Maka
hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum
adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena
timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan
kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum
perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:
Adanya
kaidah hukum
Kaidah
dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan
tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan
yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti:
jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum
ini berasal dari hukum adat.
Adanya
Subyek hukum
Istilah
lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai
pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam
hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang
berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
Adanya
Prestasi
Prestasi
adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi
umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
- memberikan sesuatu;
- berbuat sesuatu;
- tidak berbuat sesuatu.
Kata sepakat
Di
dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti
dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
Akibat hukum
Setiap
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam
aspek kegiatan hukum sehari-hari dibidang perekonomian banyak ditemukan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara
dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian-perjanjian dengan
sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu
undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana
berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam)
bagian, yakni
1. judul perjanjian,
2. pembukaan,
3. pihak-pihak dalam perjanjian,
4. recital,
5. isi perjanjian, dan
6. penutup.
Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula
umum seperti :
1) wanprestasi,
2) pilihan hukum dan pilihan forum,
3) domisili,
4) force majeur,
yang banyaknya tergantung dari kesepakatan para
pihak.
Keberadaan
suatu kontrak tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Asas-asas dalam
berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan
diri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum.
Namun
demikian, seringkali ditemui ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan
asas-asas yang berlaku dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena
disebabkan kekurangpahaman para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka. Oleh
karena itu timbulah ketidaktahuan tentang asas-asas yang berlaku dalam
melakukan suatu kontrak/perjanjian.
BAB III
PEMBAHASAN
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum
kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer, yang terdiri atas 18 bab dan
631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPer. Secara
garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai
berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan
perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan
abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam
teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian
nominaat. Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint
venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli
sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut
perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik
nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam
hukum perjanjian itu sendiri.
Secara Teoritis
A. Sistem
Pengaturan Hukum Kontrak
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka
(open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam
undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1)
membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)
mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3)
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4)
menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak
pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada
pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya
pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar
undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge
Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.[14]Untuk diketahui bahwa putusan
Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting.
Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal
1365 KUHPer.
Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan
hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak
subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan
melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan,
kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak
kebendaan, HKI, dan sebagainya.
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni
hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun
yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus
diindahkan dalam masyarakat;
Aturan tentang
kecermatan terdiri atas dua kelompok, yakni:
1) aturan-aturan yang mencegah orang lain
terjerumus dalam bahaya, dan
2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang
lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri.
Putusan
HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas
merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan
diatas.
Dengan
demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak
berubah menjadi sistem terbuka.Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi
perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu
syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang
kemudian dikaitkan dengan Pasal 1337 KUHPer. Dengan demikian, penafsiran HR
terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada Pasal 1337 diatas mengenai
suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang UU, berlawanan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum.
B Karakteristik Kontrak
Seperti
diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat).
Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban
sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata
disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan
dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.
Kontrak,
dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia
untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan
(freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).
Sejak
abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran
penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk
kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para
pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan
rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor
ini berhubungan satu sama lain. Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan
kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan
kontrak.
C. Asas-asas
Hukum Kontrak
Berdasarkan
teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum
perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom
of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta
sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian
(personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:
1. Asas
Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas
ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat
atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan
perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan
bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut
paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan
menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali
tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Paham
individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak
yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat sperti
yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
Pada
akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme
mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini
kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah
lebih banyak mendapat perlindungan.
Oleh
karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi
arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi
kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga
diawasi.
Pemerintah
sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah
maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu,
melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan
(vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.
2.
Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas
konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil
adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum
adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus
verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya
perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme
yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum
gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan
antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua,
penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan
penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut
ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest.
Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman
setelah Perang Dunia I.
Kasus
Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha
Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan
memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan
pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi.
Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual
bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila
harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad
baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.
Pembelaan
yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh
HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari
suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak
berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas
dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini denga memformulasikan:
mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah
diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan
perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.
Putusan
HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak
pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi
perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Kasus
Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi
sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. dari
jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan
nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup
untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran
jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut.
Namun,
Pasal 1757 KUHPer menyatakan “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenakan atau
kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka
pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku
pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu
mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat
menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang
yang sangat kecil itu.
Menurut
Hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad
baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat
menambah.Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat
pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat
terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang.
Apabila
orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut
harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam
berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang.Berbeda dengan kondisi di
Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis
moneter dan ekonomi.
Pihak
perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa
diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku
bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter,
suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak
nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada
posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa
yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan
yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.
5.
Asas Kepribadian (personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat
oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun
demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam
Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal
ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan
di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri,
melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317
KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal
1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang
yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer
mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang
lingkup yang luas.
Secara
Praktis
A. Asas-asas
Hukum Perikatan Nasional
Disamping
kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen
Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya
delapan asas hukum perikatan nasional.[20] Kedelapan asas tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Asas Kepercayaan
Asas
kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka
dibelakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum
Asas
persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak
boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3. Asas Kesimbangan
Asas
keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan
itikad baik.
4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian
sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya.
5. Asas Moralitas
Asas
moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur.
Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6. Asas Kepatutan
Asas
kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya.
7. Asas
Kebiasaan
Asas
ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas
Perlindungan
Asas
perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para
pihak.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan
dari pembicaraan diatas bahwa perjanjian/kontrak itu merupakan sumber perikatan
yang terpenting. Dari apa yang diterangkan di situ dapat kita lihat bahwa
perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu
hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian
memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian
sehingga perjanjian yang mereka buat merupakan undang-undang bagi mereka untuk
dilaksanakannya.
Untuk
memahami dan membentuk suatu perjanjian maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yakni syarat subjektif: adanya kata
sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan para pihak untuk membuat suatu
perikatan, sedangkan syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab
yang halal. Oleh sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat suatu
kontrak/perjanjian haruslah pula memahami asas-asas yang berlaku dalam dasar
suatu kontrak/perjanjian antara lain: asas kebebasan berkontrak, asas
konsesnsualisme, asas kepastian hukum/pacta sunt servanda, asas itikad baik dan
asas kepribadian. Dari kelima asas yang berdasarkan teori ilmu hukum tersebut
ditambahkan delapan asas hukum perikatan nasional yang merupakan hasil rumusan
bersama berdasarkan kesepakatan nasional antara lain: asas kepercayaan, asas
persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moralitas, asas
kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan. Dengan demikian telah
diketahui bersama mengenai asas-asas yang berlaku secara umum dalam hal
membentuk atau merancang suatu kontrak di dalam kegiatan hukum.
Saran
Bagi
para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian/kontrak hendaklah
terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian,
terlebih lagi mengenai asas-asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum
menandatangani perjanjian/kontrak tersebut sehingga dapat terhindari hal-hal
yang tidak diinginkan dan terlaksananya tujuan melakukan kontrak. Sangat
disarankan pula bagi para pihak minimal membaca dan mengerti akan kontrak yang
akan ditandatanganinya sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak
yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujukan kepada
pihak tertentu yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Elly Ria, Chainar. 2012. DIKTAT PERKULIAHAN ASPEK
HUKUM DALAM BISNIS.
Elly Ria, Chainar. 2012. DIKTAT KUMPULAN TANYA JAWAB.
Atiyah. The Law of Contract. London: Clarendon Press, 1983.
Devid, Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal
Systems in the World Today. London:
Stevens & Sons, 1978.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
1999.
Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik
Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, 2004.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT.
Intermasa, 1994.______ dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
= Burgerlijk Wetboek (terjemahan). Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.
Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.
BERLAKU UNTUK KREDIT ANDA
BalasHapusApakah Anda seorang pengusaha atau wanita? Apakah Anda stres keuangan? Anda perlu uang untuk memulai bisnis Anda sendiri? Apakah Anda memiliki pendapatan rendah dan sulit untuk mendapatkan pinjaman dari bank lokal dan lembaga keuangan lainnya? Jawabannya ada di sini, MichelleN Haward Kantor Pinjaman adalah jawaban untuk menawarkan semua jenis pinjaman kepada masyarakat atau siapa pun di Nees bantuan keuangan. Kami memberikan pinjaman sebesar 2% suku bunga untuk individu, perusahaan dan perusahaan di bawah kondisi yang jelas dan mudah. hubungi kami hari ini via e-mail di michellenhawardloans@gmail.com
Catatan: Semua pemohon harus di atas 18 tahun